Secangkir
Teh dan Cincin
“
Yam ditimbali ibuk..!!!” Teriak mbak Maisaroh
dari depan pintu kamarku, yah... teriakan yang membuatku kaget dan menjatuhkan
gelas yang sedang aku bawa. Memang beberapa kali mbak Maisaroh mengagetkanku
dengan suaranya yang lantang dan selalu tiba-tiba datang. Tapi berhubung dia
kakak kelasku, aku membiarkannya saja. Mungkin memang itu kebiasaan mbak Maisaroh.
“
ow iya mbak” jawabku setengah berteriak karena mengimbangi mbak Maisaroh yang
sudah menghilang dari depan pintu.
“
Hah mbak Maisaroh ini selalu membuatku kaget” kataku dalam hati sambil aku
ambil gelas yang jatuh tepat di bawah kolong meja belajarku.
Malam ini pondok sepi, hanya ada
beberapa santriwati. Yah karena teman-teman masih dirumah, mungkin baru besok
teman-teman balik kepondok. Ibuk adalah bu nyai
istri kyai kami. Aku bergegas meninggalkan kamarku untuk menemuai Ibuk di ndalem.
“
Assalamu’alaikum....” ucapku salamku dan aku menunggu berdiri didepan pintu
dapur.
“
Wa’alikumsalam nduk... masuk..” jawab
ibuk yang ternyata berdiri di depan meja sambil memotong kue karamel. Aku rasa
sedang ada tamu di depan. Akupun masuk dengan perlahan untuk tidak menimbulkan
suara sekecil apapun.
“
Ibuk minta tolong ya?...” kata ibuk seraya meraih piring yang ada di rak tepat
disamping tempatku berdiri. Ibuk kesulitan untuk mengambil piring itu karena
berada pada antara tumpukan piring-piring lain. Atas inisiatifku aku
mengambilnya dengan pelan untuk ibuk.
“
Minta tolong ya? Kue ini nanti antarkan kedepan sama teh yang ada disitu” Kata
ibuk sambil menunjuk suatu meja yang hanya ada beberapa cangkir teh buatan
ibuk.
“
Iya buk...” kataku singkat dan dengan pandangan merunduk.
“
Ada tamu dari Banten. Saudara Abah” sambung ibuk sambil mengelap tangan beliau
dengan lap yang sudah biasa di letakkan di samping tempat gula dan bubuk. Ibuk
dan Kyai membiasakan santrinya untuk memanggi beliau dengan sebuatan Ibuk atau
Abah, itu untuk kedekatan dengan santrinya.
Aku
hanya tersenyum menanggapi perkataan ibuk.
“
sudah tak tunggu didepan ya nduk...”
“iya
buk...” jawabku tetap dengan merundukkan kepala namun badanku tetap menghadap
ke ibuk. Kata teman-temanku, aku adalah anak kesayangannya Ibuk dan Abah karena
aku sangat sopan, lemah lembut dan murah senyum. Kata teman-teman juga aku
sangat cantik, pintar dan rajin. Tapi hal seperti itu tiadaklah terlalu penting
untukku. Bagaimanapun aku, aku tetap aku.
Aku tata kue-kue yang sudah dipotongi
ibuk, aku menaruhnya pada piring yang berwarna hijau dan berbetuk seperti daun.
Aku ambil nampan yang ada disamping tempat cuci piring. Ku letakkan 3 cangkir
kecil itu pada nampan dan tidak lupa satu piring Karamel ibuk. Aku melangkah
pelan melewati beberapa kamar milik Putra-putri Abah dan Ibuk, nampaknya mereka
sedang tidak ada dirumah. Sampai di Ruang tamu yang cukup besar dengan 2 set
kursi sofa. Ada 4 orang disitu, Abah, ibuk, dan 2 orang yang belum pernah aku
lihat. Salah satu dari tamu itu masih muda mungkin masih seusiaku atau beberapa
tahun diatasku. Aku letakkan nampan pada meja dan aku ambil satu persatu
cangkir teh, satu untuk Abah , satu untuk orang berjas hitam dan satu lagi
untuk laki-laki muda berhem dan berlengan sesiku. Saat tanganku meletakkan
cangkir di depan pemuda itu tiba-tiba cincin yang aku kenakan lepas, aku rasa
baru beberapa hari ada dirumah badanku mengurus. Aku tidak berani mencari
cincinku, jadi aku biarkan cincin itu menggelinding entah kemana. Aku pergi
meninggalkan ruang tamu dengan merunduk dan berjalan mundur. Sekilas aku
melihat wajah pemuda yang tadi ada didepanku, tampan, putih dan bersih. Aku
melihat senyum yang tersungging dibibirnya kepadaku. Begitu manis....
****
“
Maryaaam...!!!” suara teriakan Aish dari jauh dan terdengar gedebuk suara langkah
kakinya yang sepertinya berlari mendekatiku, aku ada di kursi depan
perpustakaan. Aku menoleh kebelakang, namun belum sempat sepenuhnya wajahku
menghadap kebelakang Aish sudah memelukku. Aish adalah teman satu kamarku yang
gemuk dan lucu. Anak itulah yang selalu menghiburku saat aku rindu rumah.
“
Aku kangen kamu, sudah 2 minggu kita tidak bertemu” katanya sambil tetap
memeluk tubuhku.
“
Aku juga kangen kamu Aish, tapi ngomong-ngomong kamu mau membunuhku, lepasin
tanganmu dari leherku, sesek ini nafasku...!!” kataku yang memang kesuliatan
untuk bernafas.
“
Hahahaa aku terlalu bernafsu dengan kamu, maaf ya?” katanya sambil melepas
pelukan mematikannya.
“
Hah kamu dirumah bukannya tambah kurus tapi tambah gemuk aja,”
“
Hahaha iya ini, gak tahu. kamu tambah cantik dan jadi agak kurusan ya?”
“
Iya, kemaren aja cincinku jatuh di ndalem
waktu mengantar minuman untuk tamu”
“
Aku bawa oleh-oleh buat kamu, ayo kekamar..!!”. Kami berjalan menuju kamar
dengan percakapan yang panjang lebar dan tawa-tawa ceria diantara percakapan
kami.
****
Langit
telah ditemani oleh sang mentari, aku masih di dalam masjid membaca Al-qur’an.
Ini kebiasaanku setiap pagi, tetap tinggal di masjid saat teman-temanku sudah
kembali ke kamar. Aku dalam tahap menghafal Al-qur’an sekarang masih juz 5. Jam
besar disudut masjud telah berdentang kesekian kalinya, tepat jam 06.00 aku
beranjak dari tempat dudukku dan meletakkan Al-qur’an di rak 15. Ku langkahkan
kakiku mendekati pintu masjid. Ketika aku tiba di pintu, mataku menangkap punggung
seorang laki-laki yang terduduk di tangga tepat lurus dengan pintu. Siapakah
dia? Aku kira dia bukan santriwan pondok sini, ataukah orang yang numpang ke
masjid? Tapi kenapa dia tidak masuk kedalam masjid? Ataukah dia menjagaku dari
setan. Aku teruskan kembali langkahku mendekati laki-laki itu, aku tidak menyapanya,
aku hanya mengambil sendal yang ada disampingnya. Terlalu malu untuk menyapanya.
Aku kaget saat tiba-tiba dia berdiri di depanku, Ada apa dengan orang ini?
Tanyaku dalam hati. Otakku berputar mencari pita ingatanku tentang kejadian
beberapa hari yang lalu, aku rasa wajah dan senyum laki-laki ini tidak asing di
mataku, mungkinkah aku pernah bertemu dengan dia sebelumnya? Otakku berputar,
ini dia, aku menemukan wajahnya disudut ruang ingatku. Hemh... laki-laki ini
adalah laki-laki yang kemaren menjadi tamu Abah. Tapi kenapa dia ada disini?.
Dia tidak mengucapkan apapun, hanya saja dia tersenyum simpul menyungging
lesung pipit di pipi kanan dan kirinya. Aku bingung...
“
Mas mencari abah?”paksaku untuk bertanya.
“
Tidak, aku ada keperluan dengan Anak emas Abah dan Ibuk, gadis cantik yang
beberapa hari yang lalu mengantar minuman untuk tamu”
“
Maksud mas saya?” kata ku sambil aku arahkan jari telunjukku kewajahku.
“
Apa kamu merasa?” tanyanya dengan santai dan tersenyum semakin lebar.
“
Maksud mas?” tanya ku sedikit ketus. Orang ini baru kenal udah mau mengajak
berantem, apa sih maunya? memang kemarin itu yang mengantar minum waktu ada
tamukan aku, pantas dong aku bilang seperti itu. Tapi orang ini menjengkelkan. “Ada
keperluan apa mas? ” sambungku tanpa meghiraukan perkataannya tadi. Aku tidak
mau bertengkar dengan orang yang baru aku kenal, lagian pula ini laki-laki, aku
tidak berani marah karena aku tidak bisa menatapnya.
Dia
tetap tersenyum “ Maaf, aku hanya bercanda. Ini cincinmu kan?” jawabnya seraya
memberikan cincinku yang jatuh beberapa hari yang lalu saat di ruang tamu Abah.
“
Iya, terimakasih sudah membawakannya untukku,” kataku pada laki-laki yang
ternyata berniat baik kepadaku.
“
Ini ambil,..” dia menyodorkan cincin ke tanganku.
“
Iya terimakasih,” jawabku padanya.
“
Aku Haikal, keponakan Abah.” Katanya sambil merunduk dan menengok mukaku yang
sedari tadi menunduk. Aku mengalihkan mukaku dari pandangannya. Aku malu dan
tidak terbiasa memandang wajah laki-laki dari dekat.
“
Saya Maryam, sekali lagi terimakih mas, karena tidak ada lagi urusan, saya
pamit dulu, assalamu’alaikum” aku melangkah meninggalkan mas Haikal, ku
percepat langkahku, karena aku rasa mas Haikal masih ada di belakangku
menungguku berbelok di lorong depan perpustakaan. Alhamdulillah cincinku ketemu.....
****
“ Au...!!!!” teriakku merintih, aku
kira ada sesuatu yang menimpa kepalaku waktu aku terduduk dibangku
perpustakaan.
Aku
cari yang menimpa kepalaku itu tadi, aku rasa itu batu kecil. Aku turun dari
kursi dan aku merunduk diantara kolong bangku-bangku yang ada di samping kiri
dan kananku. Perpus sedang tidak ada orang, hanya ada aku dan beberapa
santriwati. Tidak ada santriwan disini, kareana memang pondok putra dan putri
terpisah sekitar 100 m. Jadi kami jarang bertemu, bahkan kami tidak saling kenal
dengan satu sama lain dalam satu angkatan. Hanya saja kalau ada pertemuan atau
acara pondok kami bisa bertemu tapi aku tidak banyak kenal dengan mereka.
Mungkin mereka juga tidak kenal dengan wajahku karena aku lebih sering menunduk
saat berpapasan dengan mereka.
“Ini
dia yang aku cari,” kataku yang masih merunduk dikolong meja sampingku membawa
sebuntal kertas. aku keluar dari kolong..
“Auu....”,
kepalaku terkantuk meja.
“Aduh
kedua kalinya kepalaku merasakan sakit.” Sambil ku elus kepalaku yang terkena
meja.
Aku buka perlahan buntalan kertas
yang tadi mengajak berkawan dengan kepalaku secara anarkis.
Assalamu’alaiki Mariam....
Salam kenal, masih
ingatkah kamu dengan aku, mas Haikal, keponakan abah. Terimakasih karena kamu
telah menjaga dirimu. Suatu hari kamu pasti akan menegerti dengan maksud surat
ini. Sampai jumpa 4 tahun lagi. Aku pamit aku akan pergi ke Al-Azhar sebagi
cita-citaku sejak aku masih kecil, mohon doa restunya. Tetap jaga pandanganmu
dan tundukkan Wajahmu... insyaallah aku akan kembali tetap seperti ini.
Terimaksih ....
Mas Haikal
Wassalamu’aliki .....
Aku timang-timang kertas ini, apa
sih maksud mas Haikal? aku tidak memahami surat ini, menjaga, pamit ke Al-Azhar
dan 4 tahun lagi. Apa maksudnya? Tiba-tiba aku mendengar suara mobil yang
dipanasi, aku tengok dari jendela. Abah berpakain rapi aku kira Abah akan
pergi. Aku melangkahkan kaki mendekati pintu perpustakaan. Dari jauh, aku
melihat punggung laki-laki yang sudah tidak asing dimataku. Mas Haikal....
Dia menoleh kebelakang, tersenyum
simpul dan menunjuk kertas yang sedang ada ditanganku dan dari bibirnya aku
membaca kata yang terucap Assalamu’alaiki...
Apa
sih maksud Mas Haikal itu, aku semakin tidak faham. Berarti mas Haikal
benar-benar mau ke Al-Azhar. Hah aku tidak terlalu menghiarukannya, aku
pandangi mobil Kijang itu keluar dari perataran dan menjelajahi jalan yang tak
beraspal.
****
4
tahun kemudian.....
“
Assalamu’alaikum...”. terdengar suara dari luar rumah, aku begegas mengambil
jilbab dan keluar dari kamar. Pintu rumah yang terkunci sedari pagi akhirnya di
sambangi orang juga. Tapi aku rasa
ini tamu Emak dan Bapak, sedari tadi mereka seperti menunggu kedatangan orang.
Emak dan kakak-kakakku juga sudah mempersiapkan masakan yang cukup banyak,
mungkin untuk jamuan tamu. Tapi aku tidak mengetahui siapa tamunya. Mungkin
orang besar sehingga Emak dan Bapak dibuat sebegitu repotnya. Aku terlalu
disibukkan dengan hafalanku. Sekarang aku sudah juz 30, setiap hari aku harus mengulangnya
agar tidak ada satupun kata yang terlepas dari pita ingatanku.
“
Wa’alaikumsalam...” jawabku sambil aku buka pintu. Aku tidak mengenal 2 oarang
yang sedang berdiri didepanku. Tapi ingatanku mulai berputar kembali mencari
hal-hal yang tertinggal disudut otakku. Tiba-tiba emak datang dari
belakangku.....
“
Mbak.... Sudah kami tunggu sedari tadi, tidak kesasar kan?” kata emak dengan
riang, sepertinya emak sudah mengenalnya sejak lama.
“ Iya mbak sama mas kan sudah lama tidak
kesini,...” giliran Bapakku yang biacara menyusul emak dari belakang. Aku
dibuat bingung oleh mereka semua.
“
Alhammdulillah kami tidak kesasar, hanya saja kami berangkat agak siang”
“
Nduk salaman dulu...” kata emak. Tanpa bertanya aku langsung mencium punggung
tangan 2 orang yang berdiri di depanku.
“
Ayo silahkan masuk....”
Emak mempersilahkan 2 tamu itu masuk
kedalam rumah. Aku hanya ikut masuk tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat aku
mendengar salam yang kedua. Aku menoleh ke arah pintu.
“
Mas Haikal?” celetukku tanpa sadar, entah kenapa aku masih ingat mas Haikal.
Mas
Haikal tersenyaum kepadaku, wajahnya tetap seperti dahulu, putih, bersih dan
tampan. Tanpa terasa aku membalas seyumannya.
“
ayo le masuk,...!!” kata bapak.
Bapak sudah kenal? Darimana?
Mungkinkah 2 tamu itu ayah dan ibunya mas Haikal. Tapi saat mas Haikal pergi ke
Pondok dulu tidak dengan orang yang sekarang sudah duduk di kursi depan Bapak.
Lagian pula ada apa dengan mas Haikal kesini?....
“nduk.... sini duduk dekat ibuk....” kata
Emak seraya melambaikan tangan kepadaku.
“nduk.... masih dengan 4 tahun yang
lalu?” tanya bapak saat aku baru saja duduk di samping Emak.
“
Apa saat mas Haikal pertama kerumah Abah?” jawabku sambil aku layangkan
pandanganku kepada mas Haikal, dia tidak berkata apa-apa hanya ada lesung pipit
untuku.
“
Iya, Ini orang tua mas Haikal. Mereka ada keperluan dengan kamu..” kata bapak
kepadaku, tapi apa yang dimaksud dengan keperluan denganku? Entahlah aku tidak
faham.
“
Ibu, Bapak....” sapaku kepada tamu yang ternyata orang tua mas Haikal.
“
iya Nak, kami selaku orang tua Haikal meminta izin kepada orang tuamu untuk Haikal
agar dapat meminangmu.” Kata bapak mas Haikal.
Aku sangat kaget mendengar perkataan
ayah Mas Haikal, meminangku? Jadi ini maksudnya? Menjaga, Pamit dan 4 tahun
lagi?.
“
Meminang?” kataku yang masih tidak percaya
“
Iya, ini atas perjodohan Abah, beliau adalah kakakku, dan atas persetujuan Emak
dan bapakmu. 4 tahun yang lalu itu, kami, Abah, bapak, dan bapakmu sudah
menyepakatinya sebelum Haikal ke Pondokmu bersama Pamannya untuk melihatmu.
Bagaimana denganmu? Apakah kamu mau atas perjodohan ini? Kami tidak akan
memaksa.” Kata Bapak mas Haikal panjang lebar. Dalam hatiku tidak ada satupun
berontak hatiku atas perjodohan ini. Aku terlalu bodoh jika menolak Mas Haikal.
Sekilas aku pandang wajah mas Haikal yang sedang mengkhawatirkan sesuatu,
mungkin dia takut jika Aku menolaknya. Aku tersenyum di dalam hati.
“
Saya terserah Emak dan Bapak, jika menurut beliau berdua ini yang terbaik
untukku saya akan mengkutinya.”saat aku lirik wajah mas Haikal senyumnya
mengembang, seakan dia baru saja terlepas dari kejaran harimau.
“
Jadi kamu mau Maryam?” kata bapak yang nampaknya kegirangan atas jawabanku
tadi.
Aku
hanya menganguk atas pertanyaan bapak.
“
Alhamdulillah...” tiba-tiba mas suara mas Haikal terdengar di gendang telingaku
dan mebuat orang-orang yang ada di ruang tamu ini tertawa. Aku hanya tersenyum di
bawah tundukan kepalaku.
****
“
Maryam, jangan kau menundukkan kepalamu
lagi, sekarang kamu sudah menjadi istriku, masak kamu mau menyianyiakan wajah
suamimu yang ganteng ini?” kata mas Haikal disela-sela indahnya malam
pernikahan kami. Tidak ada suara jangkrik yang mengusik, ketenangan dan juga
rembulan yang bersinar menerobos jendela kaca kamar kami. Aku angkat kepalaku,
aku tersenyum kepadanya, terlalu indah malam ini.
“
Begitu dong sayang,” katanya padaku seraya mengelus rambutku.
“
Terimaksih mas....” kataku mengawali perjalan hidupku sebagi calon ibu.
Mas
Haikal hanya tersenyum dan Malam berubah menjadi surga bagi kami.
****
Kami bahagia atas perkawinan kami,
Mas Haikal bekerja sebgai dosen Universitas dikota kami tinggal dan keluarga
kami termasuk keluarga berkecukupan. Dilengkapi pula titipan Allah kepada kami
yaitu sepasang anak kembar yang kami beri nama Raka dan Raki. Trimakasih ya
Allah atas karunia dan nikmat-Mu kepada kami.
Oleh:
Churrotul Mandudah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar