Senin, 07 Mei 2012

love story for you


Secangkir Teh dan Cincin
“ Yam ditimbali ibuk..!!!” Teriak mbak Maisaroh dari depan pintu kamarku, yah... teriakan yang membuatku kaget dan menjatuhkan gelas yang sedang aku bawa. Memang beberapa kali mbak Maisaroh mengagetkanku dengan suaranya yang lantang dan selalu tiba-tiba datang. Tapi berhubung dia kakak kelasku, aku membiarkannya saja. Mungkin memang itu kebiasaan mbak Maisaroh.
“ ow iya mbak” jawabku setengah berteriak karena mengimbangi mbak Maisaroh yang sudah menghilang dari depan pintu.
“ Hah mbak Maisaroh ini selalu membuatku kaget” kataku dalam hati sambil aku ambil gelas yang jatuh tepat di bawah kolong meja belajarku.
            Malam ini pondok sepi, hanya ada beberapa santriwati. Yah karena teman-teman masih dirumah, mungkin baru besok teman-teman balik kepondok. Ibuk adalah bu nyai istri kyai kami. Aku bergegas meninggalkan kamarku untuk menemuai Ibuk di ndalem.
“ Assalamu’alaikum....” ucapku salamku dan aku menunggu berdiri didepan pintu dapur.
“ Wa’alikumsalam nduk... masuk..” jawab ibuk yang ternyata berdiri di depan meja sambil memotong kue karamel. Aku rasa sedang ada tamu di depan. Akupun masuk dengan perlahan untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun.
“ Ibuk minta tolong ya?...” kata ibuk seraya meraih piring yang ada di rak tepat disamping tempatku berdiri. Ibuk kesulitan untuk mengambil piring itu karena berada pada antara tumpukan piring-piring lain. Atas inisiatifku aku mengambilnya dengan pelan untuk ibuk.
“ Minta tolong ya? Kue ini nanti antarkan kedepan sama teh yang ada disitu” Kata ibuk sambil menunjuk suatu meja yang hanya ada beberapa cangkir teh buatan ibuk.
“ Iya buk...” kataku singkat dan dengan pandangan merunduk.
“ Ada tamu dari Banten. Saudara Abah” sambung ibuk sambil mengelap tangan beliau dengan lap yang sudah biasa di letakkan di samping tempat gula dan bubuk. Ibuk dan Kyai membiasakan santrinya untuk memanggi beliau dengan sebuatan Ibuk atau Abah, itu untuk kedekatan dengan santrinya.
Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan ibuk.
“ sudah tak tunggu didepan ya nduk...
“iya buk...” jawabku tetap dengan merundukkan kepala namun badanku tetap menghadap ke ibuk. Kata teman-temanku, aku adalah anak kesayangannya Ibuk dan Abah karena aku sangat sopan, lemah lembut dan murah senyum. Kata teman-teman juga aku sangat cantik, pintar dan rajin. Tapi hal seperti itu tiadaklah terlalu penting untukku. Bagaimanapun aku, aku tetap aku.
            Aku tata kue-kue yang sudah dipotongi ibuk, aku menaruhnya pada piring yang berwarna hijau dan berbetuk seperti daun. Aku ambil nampan yang ada disamping tempat cuci piring. Ku letakkan 3 cangkir kecil itu pada nampan dan tidak lupa satu piring Karamel ibuk. Aku melangkah pelan melewati beberapa kamar milik Putra-putri Abah dan Ibuk, nampaknya mereka sedang tidak ada dirumah. Sampai di Ruang tamu yang cukup besar dengan 2 set kursi sofa. Ada 4 orang disitu, Abah, ibuk, dan 2 orang yang belum pernah aku lihat. Salah satu dari tamu itu masih muda mungkin masih seusiaku atau beberapa tahun diatasku. Aku letakkan nampan pada meja dan aku ambil satu persatu cangkir teh, satu untuk Abah , satu untuk orang berjas hitam dan satu lagi untuk laki-laki muda berhem dan berlengan sesiku. Saat tanganku meletakkan cangkir di depan pemuda itu tiba-tiba cincin yang aku kenakan lepas, aku rasa baru beberapa hari ada dirumah badanku mengurus. Aku tidak berani mencari cincinku, jadi aku biarkan cincin itu menggelinding entah kemana. Aku pergi meninggalkan ruang tamu dengan merunduk dan berjalan mundur. Sekilas aku melihat wajah pemuda yang tadi ada didepanku, tampan, putih dan bersih. Aku melihat senyum yang tersungging dibibirnya kepadaku. Begitu manis....
****
“ Maryaaam...!!!” suara teriakan Aish dari jauh dan terdengar gedebuk suara langkah kakinya yang sepertinya berlari mendekatiku, aku ada di kursi depan perpustakaan. Aku menoleh kebelakang, namun belum sempat sepenuhnya wajahku menghadap kebelakang Aish sudah memelukku. Aish adalah teman satu kamarku yang gemuk dan lucu. Anak itulah yang selalu menghiburku saat aku rindu rumah.
“ Aku kangen kamu, sudah 2 minggu kita tidak bertemu” katanya sambil tetap memeluk tubuhku.
“ Aku juga kangen kamu Aish, tapi ngomong-ngomong kamu mau membunuhku, lepasin tanganmu dari leherku, sesek ini nafasku...!!” kataku yang memang kesuliatan untuk bernafas.
“ Hahahaa aku terlalu bernafsu dengan kamu, maaf ya?” katanya sambil melepas pelukan mematikannya.
“ Hah kamu dirumah bukannya tambah kurus tapi tambah gemuk aja,”
“ Hahaha iya ini, gak tahu. kamu tambah cantik dan jadi agak kurusan ya?”
“ Iya, kemaren aja cincinku jatuh di ndalem waktu mengantar minuman untuk tamu”
“ Aku bawa oleh-oleh buat kamu, ayo kekamar..!!”. Kami berjalan menuju kamar dengan percakapan yang panjang lebar dan tawa-tawa ceria diantara percakapan kami.
****
Langit telah ditemani oleh sang mentari, aku masih di dalam masjid membaca Al-qur’an. Ini kebiasaanku setiap pagi, tetap tinggal di masjid saat teman-temanku sudah kembali ke kamar. Aku dalam tahap menghafal Al-qur’an sekarang masih juz 5. Jam besar disudut masjud telah berdentang kesekian kalinya, tepat jam 06.00 aku beranjak dari tempat dudukku dan meletakkan Al-qur’an di rak 15. Ku langkahkan kakiku mendekati pintu masjid. Ketika aku tiba di pintu, mataku menangkap punggung seorang laki-laki yang terduduk di tangga tepat lurus dengan pintu. Siapakah dia? Aku kira dia bukan santriwan pondok sini, ataukah orang yang numpang ke masjid? Tapi kenapa dia tidak masuk kedalam masjid? Ataukah dia menjagaku dari setan. Aku teruskan kembali langkahku mendekati laki-laki itu, aku tidak menyapanya, aku hanya mengambil sendal yang ada disampingnya. Terlalu malu untuk menyapanya. Aku kaget saat tiba-tiba dia berdiri di depanku, Ada apa dengan orang ini? Tanyaku dalam hati. Otakku berputar mencari pita ingatanku tentang kejadian beberapa hari yang lalu, aku rasa wajah dan senyum laki-laki ini tidak asing di mataku, mungkinkah aku pernah bertemu dengan dia sebelumnya? Otakku berputar, ini dia, aku menemukan wajahnya disudut ruang ingatku. Hemh... laki-laki ini adalah laki-laki yang kemaren menjadi tamu Abah. Tapi kenapa dia ada disini?. Dia tidak mengucapkan apapun, hanya saja dia tersenyum simpul menyungging lesung pipit di pipi kanan dan kirinya. Aku bingung...
“ Mas mencari abah?”paksaku untuk bertanya.
“ Tidak, aku ada keperluan dengan Anak emas Abah dan Ibuk, gadis cantik yang beberapa hari yang lalu mengantar minuman untuk tamu”
“ Maksud mas saya?” kata ku sambil aku arahkan jari telunjukku kewajahku.
“ Apa kamu merasa?” tanyanya dengan santai dan tersenyum semakin lebar.
“ Maksud mas?” tanya ku sedikit ketus. Orang ini baru kenal udah mau mengajak berantem, apa sih maunya? memang kemarin itu yang mengantar minum waktu ada tamukan aku, pantas dong aku bilang seperti itu. Tapi orang ini menjengkelkan. “Ada keperluan apa mas? ” sambungku tanpa meghiraukan perkataannya tadi. Aku tidak mau bertengkar dengan orang yang baru aku kenal, lagian pula ini laki-laki, aku tidak berani marah karena aku tidak bisa menatapnya.

Dia tetap tersenyum “ Maaf, aku hanya bercanda. Ini cincinmu kan?” jawabnya seraya memberikan cincinku yang jatuh beberapa hari yang lalu saat di ruang tamu Abah.
“ Iya, terimakasih sudah membawakannya untukku,” kataku pada laki-laki yang ternyata berniat baik kepadaku.
“ Ini ambil,..” dia menyodorkan cincin ke tanganku.
“ Iya terimakasih,” jawabku padanya.
“ Aku Haikal, keponakan Abah.” Katanya sambil merunduk dan menengok mukaku yang sedari tadi menunduk. Aku mengalihkan mukaku dari pandangannya. Aku malu dan tidak terbiasa memandang wajah laki-laki dari dekat.
“ Saya Maryam, sekali lagi terimakih mas, karena tidak ada lagi urusan, saya pamit dulu, assalamu’alaikum” aku melangkah meninggalkan mas Haikal, ku percepat langkahku, karena aku rasa mas Haikal masih ada di belakangku menungguku berbelok di lorong depan perpustakaan.           Alhamdulillah cincinku ketemu.....
****
            “ Au...!!!!” teriakku merintih, aku kira ada sesuatu yang menimpa kepalaku waktu aku terduduk dibangku perpustakaan.
Aku cari yang menimpa kepalaku itu tadi, aku rasa itu batu kecil. Aku turun dari kursi dan aku merunduk diantara kolong bangku-bangku yang ada di samping kiri dan kananku. Perpus sedang tidak ada orang, hanya ada aku dan beberapa santriwati. Tidak ada santriwan disini, kareana memang pondok putra dan putri terpisah sekitar 100 m. Jadi kami jarang bertemu, bahkan kami tidak saling kenal dengan satu sama lain dalam satu angkatan. Hanya saja kalau ada pertemuan atau acara pondok kami bisa bertemu tapi aku tidak banyak kenal dengan mereka. Mungkin mereka juga tidak kenal dengan wajahku karena aku lebih sering menunduk saat berpapasan dengan mereka.
“Ini dia yang aku cari,” kataku yang masih merunduk dikolong meja sampingku membawa sebuntal kertas. aku keluar dari kolong..
“Auu....”, kepalaku terkantuk meja.
“Aduh kedua kalinya kepalaku merasakan sakit.” Sambil ku elus kepalaku yang terkena meja.
            Aku buka perlahan buntalan kertas yang tadi mengajak berkawan dengan kepalaku secara anarkis.
Assalamu’alaiki Mariam....
Salam kenal, masih ingatkah kamu dengan aku, mas Haikal, keponakan abah. Terimakasih karena kamu telah menjaga dirimu. Suatu hari kamu pasti akan menegerti dengan maksud surat ini. Sampai jumpa 4 tahun lagi. Aku pamit aku akan pergi ke Al-Azhar sebagi cita-citaku sejak aku masih kecil, mohon doa restunya. Tetap jaga pandanganmu dan tundukkan Wajahmu... insyaallah aku akan kembali tetap seperti ini.
Terimaksih ....
                                                                                                                        Mas Haikal
Wassalamu’aliki .....
            Aku timang-timang kertas ini, apa sih maksud mas Haikal? aku tidak memahami surat ini, menjaga, pamit ke Al-Azhar dan 4 tahun lagi. Apa maksudnya? Tiba-tiba aku mendengar suara mobil yang dipanasi, aku tengok dari jendela. Abah berpakain rapi aku kira Abah akan pergi. Aku melangkahkan kaki mendekati pintu perpustakaan. Dari jauh, aku melihat punggung laki-laki yang sudah tidak asing dimataku. Mas Haikal....
            Dia menoleh kebelakang, tersenyum simpul dan menunjuk kertas yang sedang ada ditanganku dan dari bibirnya aku membaca kata yang terucap Assalamu’alaiki...
Apa sih maksud Mas Haikal itu, aku semakin tidak faham. Berarti mas Haikal benar-benar mau ke Al-Azhar. Hah aku tidak terlalu menghiarukannya, aku pandangi mobil Kijang itu keluar dari perataran dan menjelajahi jalan yang tak beraspal.
****
4 tahun kemudian.....
“ Assalamu’alaikum...”. terdengar suara dari luar rumah, aku begegas mengambil jilbab dan keluar dari kamar. Pintu rumah yang terkunci sedari pagi akhirnya di sambangi orang juga. Tapi aku rasa ini tamu Emak dan Bapak, sedari tadi mereka seperti menunggu kedatangan orang. Emak dan kakak-kakakku juga sudah mempersiapkan masakan yang cukup banyak, mungkin untuk jamuan tamu. Tapi aku tidak mengetahui siapa tamunya. Mungkin orang besar sehingga Emak dan Bapak dibuat sebegitu repotnya. Aku terlalu disibukkan dengan hafalanku. Sekarang aku sudah juz 30, setiap hari aku harus mengulangnya agar tidak ada satupun kata yang terlepas dari pita ingatanku.
“ Wa’alaikumsalam...” jawabku sambil aku buka pintu. Aku tidak mengenal 2 oarang yang sedang berdiri didepanku. Tapi ingatanku mulai berputar kembali mencari hal-hal yang tertinggal disudut otakku. Tiba-tiba emak datang dari belakangku.....
“ Mbak.... Sudah kami tunggu sedari tadi, tidak kesasar kan?” kata emak dengan riang, sepertinya emak sudah mengenalnya sejak lama.
 “ Iya mbak sama mas kan sudah lama tidak kesini,...” giliran Bapakku yang biacara menyusul emak dari belakang. Aku dibuat bingung oleh mereka semua.
“ Alhammdulillah kami tidak kesasar, hanya saja kami berangkat agak siang”
“ Nduk salaman dulu...” kata emak. Tanpa bertanya aku langsung mencium punggung tangan 2 orang yang berdiri di depanku.
“ Ayo silahkan masuk....”
            Emak mempersilahkan 2 tamu itu masuk kedalam rumah. Aku hanya ikut masuk tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat aku mendengar salam yang kedua. Aku menoleh ke arah pintu.
“ Mas Haikal?” celetukku tanpa sadar, entah kenapa aku masih ingat mas Haikal.
Mas Haikal tersenyaum kepadaku, wajahnya tetap seperti dahulu, putih, bersih dan tampan. Tanpa terasa aku membalas seyumannya.
“ ayo le masuk,...!!” kata bapak.
            Bapak sudah kenal? Darimana? Mungkinkah 2 tamu itu ayah dan ibunya mas Haikal. Tapi saat mas Haikal pergi ke Pondok dulu tidak dengan orang yang sekarang sudah duduk di kursi depan Bapak. Lagian pula ada apa dengan mas Haikal kesini?....
nduk.... sini duduk dekat ibuk....” kata Emak seraya melambaikan tangan kepadaku.
nduk.... masih dengan 4 tahun yang lalu?” tanya bapak saat aku baru saja duduk di samping Emak.
“ Apa saat mas Haikal pertama kerumah Abah?” jawabku sambil aku layangkan pandanganku kepada mas Haikal, dia tidak berkata apa-apa hanya ada lesung pipit untuku.
“ Iya, Ini orang tua mas Haikal. Mereka ada keperluan dengan kamu..” kata bapak kepadaku, tapi apa yang dimaksud dengan keperluan denganku? Entahlah aku tidak faham.
“ Ibu, Bapak....” sapaku kepada tamu yang ternyata orang tua mas Haikal.
“ iya Nak, kami selaku orang tua Haikal meminta izin kepada orang tuamu untuk Haikal agar dapat meminangmu.” Kata bapak mas Haikal.
            Aku sangat kaget mendengar perkataan ayah Mas Haikal, meminangku? Jadi ini maksudnya? Menjaga, Pamit dan 4 tahun lagi?.
“ Meminang?” kataku yang masih tidak percaya
“ Iya, ini atas perjodohan Abah, beliau adalah kakakku, dan atas persetujuan Emak dan bapakmu. 4 tahun yang lalu itu, kami, Abah, bapak, dan bapakmu sudah menyepakatinya sebelum Haikal ke Pondokmu bersama Pamannya untuk melihatmu. Bagaimana denganmu? Apakah kamu mau atas perjodohan ini? Kami tidak akan memaksa.” Kata Bapak mas Haikal panjang lebar. Dalam hatiku tidak ada satupun berontak hatiku atas perjodohan ini. Aku terlalu bodoh jika menolak Mas Haikal. Sekilas aku pandang wajah mas Haikal yang sedang mengkhawatirkan sesuatu, mungkin dia takut jika Aku menolaknya. Aku tersenyum di dalam hati.
“ Saya terserah Emak dan Bapak, jika menurut beliau berdua ini yang terbaik untukku saya akan mengkutinya.”saat aku lirik wajah mas Haikal senyumnya mengembang, seakan dia baru saja terlepas dari kejaran harimau.
“ Jadi kamu mau Maryam?” kata bapak yang nampaknya kegirangan atas jawabanku tadi.
Aku hanya menganguk atas pertanyaan bapak.
“ Alhamdulillah...” tiba-tiba mas suara mas Haikal terdengar di gendang telingaku dan mebuat orang-orang yang ada di ruang tamu ini tertawa. Aku hanya tersenyum di bawah tundukan kepalaku.
****
“ Maryam, jangan kau menundukkan  kepalamu lagi, sekarang kamu sudah menjadi istriku, masak kamu mau menyianyiakan wajah suamimu yang ganteng ini?” kata mas Haikal disela-sela indahnya malam pernikahan kami. Tidak ada suara jangkrik yang mengusik, ketenangan dan juga rembulan yang bersinar menerobos jendela kaca kamar kami. Aku angkat kepalaku, aku tersenyum kepadanya, terlalu indah malam ini.
“ Begitu dong sayang,” katanya padaku seraya mengelus rambutku.
“ Terimaksih mas....” kataku mengawali perjalan hidupku sebagi calon ibu.
Mas Haikal hanya tersenyum dan Malam berubah menjadi surga bagi kami.
****
            Kami bahagia atas perkawinan kami, Mas Haikal bekerja sebgai dosen Universitas dikota kami tinggal dan keluarga kami termasuk keluarga berkecukupan. Dilengkapi pula titipan Allah kepada kami yaitu sepasang anak kembar yang kami beri nama Raka dan Raki. Trimakasih ya Allah atas karunia dan nikmat-Mu kepada kami.
                                                                                    Oleh: Churrotul Mandudah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar