Setelah makan malam, satu persatu peserta memasuki Ruang Halimun,
untuk mengikuti acara pembukaan sekaligus pengarahan dari Sekretaris
Ditjen PAUDNI dalam kegiatan “Penyusunan naskah Best Practices dan
Succes Stories Pendidikan Untuk Semua” yang konon nantinya akan
dibukukan dan didistribusikan keberbagai pemangku kepentingan agar
mereka semakin tahu peran penting dari para pegiat program PAUDNI untuk
kemudian mendukung perkembangannya di daerah. Sayangnya, malam itu semua
pejabat tidak ada yang bisa datang karena berbagai kesibukan yang lebih
mendesak dan bermakna.
Tiada akar rotan pun jadi, acara tetap berlangsung walau hanya
dipandu oleh panitia pelaksana, malahan tambah gayeng penuh
kekeluargaan. Konon acara ini diadakan untuk menyusun naskah sebagai
bahan sosialisasi dan pencitraan program PAUDNI. “Bagaimana memprovokasi
masyarakat agar bergairah mendukung program PAUDNI.” Ujar panitia.
Dengan kata lain, acara yang diikuti oleh 40 orang itu dalam upaya
menyebarluaskan informasi hasil pembangunan pendidikan untuk semua
dengan tujuan agar para pejabat diseluruh penjuru mengetahui dan turut
mendukung program yang digulirkan oleh Ditjen PAUDNI, termasuk
memberikan perhatian kepada para pegiatnya (pamong belajar, sanggar
kegiatan belajar, PKBM dan LPK). karena selama ini peran pegiat PAUDNI,
khususnya pamong belajar kurang mendapat perhatian terkait dengan
pengadaan pamong belajar baru, mengingat banyak SKB yang pamong
belajarnya sudah mulai menua dan berdampak pada kurang maksimalnya
pelaksanan program.
Kegiatan yang dihelat di Hotel Garden Permata, Bandung ini lebih
banyak menginventarisir lembaga (SKB, PKBM, LPK) serta perseorangan yang
aktif dan berprestasi dalam kegiatan PAUDNI untuk dijadikan bahan
penulisan yang akan dibukukan, baik itu tentang Succes Story, Best
Practices maupun untuk bahan Advertorial di media massa. Masing-masing
peserta tentulah mengunggulkan lembaga dan individu yang sudah
dikenalnya serta menonjolkan daerahnya masing-masing. Kebanyakan yang
diangkat adalah kiprah PKBM dan LPK, sedangkan yang mengangkat SKB
sedikit sekali. Padahal pamong belajar SKB sudah mati-matian
menyelenggarakan program-programnya walau hanya ditunjang dana
sekedarnya. Apakah ini tidak termasuk prestasi yang layak di bukukan
sebagai pejuang PNF sejati?.
Alangkah bijaksananya jika panitia penyusun naskah ini
memprioritaskan sosok SKB untuk dibukukan, mengingat naasib SKB saat ini
bagai ‘telur diujung tanduk’ sehingga perlu dukungan publikasi agar
keberadaannya semakin dikenal dan mendapat perhatian yang layak dari
pejabat otoda yang berkuasa menentukan mati hidupnya SKB.
Nantinya, setelah bahan terkumpul dan diedit oleh tim terpilih,
tentunya dilanjutkan dengan kegiatan penggandaan dan distribusi.
Harapannya, pendistribusiannya merata kepada seluruh pejabat yang
berkepentingan, mulai dari dinas pendidikan propinsi, Kabupaten/Kota
hingga ke tingkat kecamatan serta instansi terkait lainnya. Sehingga
mereka bisa mengetahui perkembangan program Ditjen PAUDNI untuk kemudian
menginspirasi daerah berbuat seperti yang ada di buku tersebut. Catatan
penting bagi tim editor adalah, sampul buku harus dibuat semenarik
mungkin, tidak seperti yang sudah dicetak tahun lalu yang terkesan asal
jadi, termasuk jangan dibiarkan ada halaman yang kosong. Agar menarik,
halaman yang masih kosong (tersisa) di isi dengan kata-kata mutiara,
cuplikan pidato pejabat, dan ornament yang sesuai agar lebih menarik
daripada dibiarkan kosong sebagai tanda ketidak cermatan tim editor.
Yang jelas, tahun lalu buku sejenis ini sudah pernah disusun dan
tahun ini pun juga akan disusun dengan pelaku dan lembaga PNF yang
berbeda. Sayangnya produksi tahun lalu belun didistribusikan secara
merata, masih dicetak untuk kalangan terbatas sehingga upaya sosialisasi
dan promosi keberadaan program PAUDNI beserta prestasi para pelakunya
kurang dikenal dan didengar oleh khalayak ramai.
Hal yang mengherankan, menjelang penutupan muncul komplain dari
peserta terkait dengan amplop, khususnya mereka yang sudah sering
mengikuti kegiatan semacam ini. “Wis, yen ono kegiatan ngene maneh kau
di undang, ora bakalan gelem teko.” Kata Winarni, peserta dari Ungaran,
begitu juga dengan Subi Sidarto, staf Dit Dikmas yang mengeluhkan
masalah amplop. “Biasanya memang ada honor penyusunan, honor transport
dan honor harian, tapi gak tau nih honor penyusunan tidak diberikan,
kenapa ya ?.” Kata Ratna, staf direktorat P2TK. Sebuah dinamika yang
sering muncul dalam setiap kegiatan, padahal kata panitia semua sudah
sesuai aturan.
Dalam sambutan penutupannya, Cecep pun berharap hendaknya buku yang
disusun nanti bisa mewakili dari semua daerah Indonesia, tidak hanya
berpusat di Jawa dan Sumatra saja. sehinga buku yang dicetak
benar-benar mengIndonesia sesuai rasa keadilan sosial bagi seluruh
bangsa Indonesia. *[Edibasuki/humasipabipusat_online]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar