Cerita Diantara
Petikan Rantai Tasbih
Malam
kian larut dalam petikan jari-jemari yang menghitung butir-butir tasbih
mengiringi ucap tahlil dan syukur pada Robbii. Membawaku pada sebuah kisah
bebarapa puluh tahun silam, saat abahku tergolek lemah di dipan usang buatan
beliau sendiri. Aku usap kepala beruban beliau sambil aku ucapkan seribu doa
untuknya.
“Abah
butuh apa?” kataku pelan di samping telinganya. Beliau tidak menjawab, hanya saja
aku melihat isyarat gelengan kepalanya yang pelan.
Aku
tetap di sampingnya, sesekali aku pergi mengambil beberapa kebutuhan abah atas
inisiatifku sendiri. Aku tidak akan tega berlama-lama meninggalkannya. Aku
takut terjadi suatu hal yang tidak aku inginkan. Sebenarnya saat itu aku
tinggal di pondok, namun ibu menyuruhku pulang dengan alasan untuk membantunya merawat
abah yang sakit parah. Abahku saat itu sudahlah tua sekitar 80 tahun-an, dan
beliau sakit komplikasi dari jantung, darah tinggi sampai diabetes melitus
parah. Ibuku memang bukan sesosok ibu yang tlaten terhadap keluarga, sehingga
menjadikan aku sendiri yang merawat abah. Dengan usia yang cukup kecil yaitu
usia 15 tahun, aku merawat abahku sendiri tanpa mengeluh. Ini karena rasa
sayangku pada beliau.
Aku
anak kedua dari 5 bersaudara, kakakku sibuk dengan urusannya sendiri. Aku
mengurus beliau dengan sabar. Aku sering menangis saat melihat abah tertidur
atau merintih kesakitan.
Jam besar yang terbuat dari kayu pohon jati
berdentang 10 kali, itu tandanya sekarang sudah jam 10 malam tepat. Aku
terbangun dari tidur sekejapku di samping abah. Aku lupa kalau malam ini aku
belum sholat isya’. Dengan pelan aku turun dari dipan abah dan pergi untuk
mengambil air wudlu. Abah masih tertidur namun tidurnya tidaklah seperti
biasanya, aku melihat perutnya.
“Alhamdulillah...”
kataku lega karena aku masih bisa melihat pompa udara yang masuk kedalam
tubuhnya dan membuat perut abah mengembang dan mengempis.
Kebetulan kamar abah dekat sekali
dengan kamar mandi, sebenaranya itu bukan kamar abah, tapi kamar yang lama
tidak terpakai. Sejak abah sakit kamar itu digunakan sebagai kamar tempat
perawatan abah, ibuku tidur dikamar lain dengan adikku terkecil yang masih
berusia 5 tahun. Saat di tengah-tengah dzikirku, aku tertidur diatas sajadah
lusuh milik abah yang biasa beliau pakai sebelum beliau tergolek lemas tak
berdaya. Dalam tidurku, aku melihat abah berpakaian serba putih dan bercahaya,
kemudian beliau melambaikan tangan dan terseyum simpul kepadaku. Belum sempat
aku bertanya pada abah, aku sudah terbangun. Aku tengok abah yang ada di
sampingku, beliau masih tertidur pulas. Tanpa terasa air mataku jatuh membasahi
mukena yang aku pakai. Mimpi singkat itu membuatku takut jikalau abah akan
pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Ku tepis pikiran bodoh itu, mungkin
mimpi itu hanyalah efek karena kekhawatiranku akan abah dan mungkin karena aku
kurang tidur beberapa hari belakangan ini. Aku raih Al-Qur’an yang ada di atas
almari di pojok kamar, Qur’an itu adalah hadiah dari Abah saat aku berusia 6 tahun
dan sudah khatam Al-Qur’an untuk pertama kalinya, kitab mulia itulah yang
menemaniku setiap kali sehabis Sholat selama bertahun-tahun. Aku baca ayat-ayat
Allah itu secara siri, aku tak berani membaca keras karena takut membuatnya
terjaga. Mataku mulai terkantuk-kantuk namun aku memaksakan diri untuk tetap
terjaga, hingga tiba sepertiga malam aku pergi kekamar mandi untuk mengambil
air wudlu dan menunaikan kebiasaanku di pondok yaitu solat tahajud. Aku berdoa
pada Allah agar abahku segera sembuh dari sakitnya. Aku terus memetik rantai
tasbih hingga azan subuh berkumandang dari berbagai penjuru. Ku tunaikan
kewajibanku sebagai hamba Allah, bagiku solat subuh adalah solat yang ternikmat
diantara 5 solat wajib yang ada.
Pada
salamku yang kedua suara lirih abah memanggilku, ternyata abah sudah terbangun
dari tidur semalamnya.
“
Nduk....” Katanya. Itu pertanda jikalau beliau menyuruhku mengambilkan air
untuk mengusap badannya dengan air hangat sebagai pengganti mandi.
Aku
segera bangun dari tempatku seraya aku berkata “ Iya abah Sebentar”
Abahku
hanya tersenyum. Aku pergi kedapur untuk mengambil air hangat yang sudah
disiapkan ibu setiap pagi. Aku memulai kegiatan rutin setiap subuh, sebelum abah
solat subuh, yaitu mengusap badan abah dengan air hangat untuk mengganti mandi
beliau, agar badan beliau bersih saat sholat. Abah tidak berwudlu tapi abah
bertayamum karena tidak memungkinkan untuk berwudlu.
Abah
memulai sholatnya sebelum matahari terbit membelah langit. Tapi sampai pada
rokaat terakhir, abah tidak juga salam, beliau tetap bersedekap dan memejamkan
mata. Aku mulai cemas dengan tidak bergeraknya abah sama sekali dan tiada
kembang kempis perutnya. Apa yang terjadi?
“Abah.....”
kataku lirih, tetap tidak ada respon dari abah, aku menyetuh bahunya.
“Abah...”
kataku mulai ketakutan. Aku dekatkan punggung jari telunjuk dan jari tengahku
pada lubang hidung abah, aku tak merasakan ada hembusan nafas.
“Abah....”
kataku semakin keras. Aku alihkan jariku pada nadi leher abah, aku tak
menemukan gerakan pelan nadi. Saat itu aku mulai lemas, rasanya syaraf dan ototku
tak lagi berfungsi, aku terjatuh dan otakku beku. Tak sanggup aku berkata
sepatahpun, lidahku terlalu kelu, hanya saja bulir air mata terjatuh membuat
sungai kecil di pipiku. Nafasku terengah bagaikan habis berlari berkilo-kilo
meter. Kataku dalam hati, abahku telah pergi, diatas ranjangnya, saat sholat
subuh, dan aku berada disampingnya tapi aku tidak tahu sebelumnya. Aku tak dapat
lagi berkata apa-apa. Hanya doa yang terucap di dalam hatiku, Semoga Allah
mengampuni dosanya dan menempatkan beliau bersama orang-orang yang Allah
sayangi. Aku mencoba bangun dari tempatku dan merangkak mencari pertolongan
pada ibu dan saudara-saudaraku. Belum sampai tiba di pintu kamar abah, ibuku
datang membawa nampan berisi nasi jagung dan air putih makanan abahku setaiap
hari. Ibuku melihatku lemas bersimpuh di depannya. Matanya mulai khawatir.
“A
a abahmu nduk...” kata ibuku pelan dan terbata-bata. Beliau menjatuhkan nampan
yang ia bawa dan segera memelukku.
“Ini
salah ibu nduk...” katanya berbisik di telingaku dengan air mata yang
membanjiri pipi keriputnya “ibu belum sempat berbakti padanya” kata beliau
penuh penyesalan. Saat itu aku tak dapat berkata apa-apa lagi selain doa untuk abahku.
Ibuku melepas pelukannya padaku dan menghampiri jasad abah, ya abahku yang
sekarang tak bernyawa lagi.
“Abah...
abah abah abah....!!!” kata ibu di sela-sela tangisnya, ia memeluk jasad abah
begitu rapat. Aku memandangnya dan tetap tidak beranjak dari tempatku.
Abahku
telah pergi untuk selamanya, meninggakanku dan tidak akan lagi menemaniku tidur
di dipan usang itu. Nafasku tersenggal-senggal, Abah telah pergi.... untuk
selamanya.... dan sekarang beliau menungguku di surga bersama bidadari-bidari
amalannya, abah tunggu kami disana.
Tidak
terasa lamunanku mebuatku menangis dimalam yang sunyi ini, di antara petikan
rantai tasbih yang terhenti. Abahku telah di surga begitu pula dengan Ibuku
yang menyusulnya beberapa bulan silam. Kini aku telah menjadi seorang ibu yang
menjadi naungan untuk anak-anakku dan sebagai abdi untuk suamiku. Aku akan
bersama-sama kesurga dengan keluargaku menemuai abah dan ibuku. Kisah ini kisah
nyata, semoga bisa menjadi cerminan untuk semuanya.
Untuk Abah
Langit bergemuruh membawa angin
mendekat di atap
Tak terdengar lagi
jangkrik-jangkrik yang berderik
Senyuman digulung malam....
Secarik surat tak berupa membuat
berjuta noktah dalam lembar putih
Dibawa pergi burung-burung dari
surga
Mengitari alam sebagai perjalan
terakhirnya
Kini tlah benar tiada.....
Setelah daun kehidupan gugur
dialamnya...
Siapa yang dapat merubahnya
Siapa yang dapat menahannya
Siapa yang bisa mengembalikannya
Hanya secarik surat berisi doa
Dibawa burung mengiringi terbang
yang tak diduga
Atas kepergian yang tak pernah
disangka
Untuk abah ku yang telah tiada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar