Sabtu, 05 Mei 2012


Cerita Diantara Petikan Rantai Tasbih
Malam kian larut dalam petikan jari-jemari yang menghitung butir-butir tasbih mengiringi ucap tahlil dan syukur pada Robbii. Membawaku pada sebuah kisah bebarapa puluh tahun silam, saat abahku tergolek lemah di dipan usang buatan beliau sendiri. Aku usap kepala beruban beliau sambil aku ucapkan seribu doa untuknya.
“Abah butuh apa?” kataku pelan di samping telinganya. Beliau tidak menjawab, hanya saja aku melihat isyarat gelengan kepalanya yang pelan.
Aku tetap di sampingnya, sesekali aku pergi mengambil beberapa kebutuhan abah atas inisiatifku sendiri. Aku tidak akan tega berlama-lama meninggalkannya. Aku takut terjadi suatu hal yang tidak aku inginkan. Sebenarnya saat itu aku tinggal di pondok, namun ibu menyuruhku pulang dengan alasan untuk membantunya merawat abah yang sakit parah. Abahku saat itu sudahlah tua sekitar 80 tahun-an, dan beliau sakit komplikasi dari jantung, darah tinggi sampai diabetes melitus parah. Ibuku memang bukan sesosok ibu yang tlaten terhadap keluarga, sehingga menjadikan aku sendiri yang merawat abah. Dengan usia yang cukup kecil yaitu usia 15 tahun, aku merawat abahku sendiri tanpa mengeluh. Ini karena rasa sayangku pada beliau.
Aku anak kedua dari 5 bersaudara, kakakku sibuk dengan urusannya sendiri. Aku mengurus beliau dengan sabar. Aku sering menangis saat melihat abah tertidur atau merintih kesakitan.
 Jam besar yang terbuat dari kayu pohon jati berdentang 10 kali, itu tandanya sekarang sudah jam 10 malam tepat. Aku terbangun dari tidur sekejapku di samping abah. Aku lupa kalau malam ini aku belum sholat isya’. Dengan pelan aku turun dari dipan abah dan pergi untuk mengambil air wudlu. Abah masih tertidur namun tidurnya tidaklah seperti biasanya, aku melihat perutnya.
“Alhamdulillah...” kataku lega karena aku masih bisa melihat pompa udara yang masuk kedalam tubuhnya dan membuat perut abah mengembang dan mengempis.
            Kebetulan kamar abah dekat sekali dengan kamar mandi, sebenaranya itu bukan kamar abah, tapi kamar yang lama tidak terpakai. Sejak abah sakit kamar itu digunakan sebagai kamar tempat perawatan abah, ibuku tidur dikamar lain dengan adikku terkecil yang masih berusia 5 tahun. Saat di tengah-tengah dzikirku, aku tertidur diatas sajadah lusuh milik abah yang biasa beliau pakai sebelum beliau tergolek lemas tak berdaya. Dalam tidurku, aku melihat abah berpakaian serba putih dan bercahaya, kemudian beliau melambaikan tangan dan terseyum simpul kepadaku. Belum sempat aku bertanya pada abah, aku sudah terbangun. Aku tengok abah yang ada di sampingku, beliau masih tertidur pulas. Tanpa terasa air mataku jatuh membasahi mukena yang aku pakai. Mimpi singkat itu membuatku takut jikalau abah akan pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Ku tepis pikiran bodoh itu, mungkin mimpi itu hanyalah efek karena kekhawatiranku akan abah dan mungkin karena aku kurang tidur beberapa hari belakangan ini. Aku raih Al-Qur’an yang ada di atas almari di pojok kamar, Qur’an itu adalah hadiah dari Abah saat aku berusia 6 tahun dan sudah khatam Al-Qur’an untuk pertama kalinya, kitab mulia itulah yang menemaniku setiap kali sehabis Sholat selama bertahun-tahun. Aku baca ayat-ayat Allah itu secara siri, aku tak berani membaca keras karena takut membuatnya terjaga. Mataku mulai terkantuk-kantuk namun aku memaksakan diri untuk tetap terjaga, hingga tiba sepertiga malam aku pergi kekamar mandi untuk mengambil air wudlu dan menunaikan kebiasaanku di pondok yaitu solat tahajud. Aku berdoa pada Allah agar abahku segera sembuh dari sakitnya. Aku terus memetik rantai tasbih hingga azan subuh berkumandang dari berbagai penjuru. Ku tunaikan kewajibanku sebagai hamba Allah, bagiku solat subuh adalah solat yang ternikmat diantara 5 solat wajib yang ada.
Pada salamku yang kedua suara lirih abah memanggilku, ternyata abah sudah terbangun dari tidur semalamnya.
“ Nduk....” Katanya. Itu pertanda jikalau beliau menyuruhku mengambilkan air untuk mengusap badannya dengan air hangat sebagai pengganti mandi.
Aku segera bangun dari tempatku seraya aku berkata “ Iya abah Sebentar”
Abahku hanya tersenyum. Aku pergi kedapur untuk mengambil air hangat yang sudah disiapkan ibu setiap pagi. Aku memulai kegiatan rutin setiap subuh, sebelum abah solat subuh, yaitu mengusap badan abah dengan air hangat untuk mengganti mandi beliau, agar badan beliau bersih saat sholat. Abah tidak berwudlu tapi abah bertayamum karena tidak memungkinkan untuk berwudlu.
Abah memulai sholatnya sebelum matahari terbit membelah langit. Tapi sampai pada rokaat terakhir, abah tidak juga salam, beliau tetap bersedekap dan memejamkan mata. Aku mulai cemas dengan tidak bergeraknya abah sama sekali dan tiada kembang kempis perutnya. Apa yang terjadi?
“Abah.....” kataku lirih, tetap tidak ada respon dari abah, aku menyetuh bahunya.
“Abah...” kataku mulai ketakutan. Aku dekatkan punggung jari telunjuk dan jari tengahku pada lubang hidung abah, aku tak merasakan ada hembusan nafas.
“Abah....” kataku semakin keras. Aku alihkan jariku pada nadi leher abah, aku tak menemukan gerakan pelan nadi. Saat itu aku mulai lemas, rasanya syaraf dan ototku tak lagi berfungsi, aku terjatuh dan otakku beku. Tak sanggup aku berkata sepatahpun, lidahku terlalu kelu, hanya saja bulir air mata terjatuh membuat sungai kecil di pipiku. Nafasku terengah bagaikan habis berlari berkilo-kilo meter. Kataku dalam hati, abahku telah pergi, diatas ranjangnya, saat sholat subuh, dan aku berada disampingnya tapi aku tidak tahu sebelumnya. Aku tak dapat lagi berkata apa-apa. Hanya doa yang terucap di dalam hatiku, Semoga Allah mengampuni dosanya dan menempatkan beliau bersama orang-orang yang Allah sayangi. Aku mencoba bangun dari tempatku dan merangkak mencari pertolongan pada ibu dan saudara-saudaraku. Belum sampai tiba di pintu kamar abah, ibuku datang membawa nampan berisi nasi jagung dan air putih makanan abahku setaiap hari. Ibuku melihatku lemas bersimpuh di depannya. Matanya mulai khawatir.
“A a abahmu nduk...” kata ibuku pelan dan terbata-bata. Beliau menjatuhkan nampan yang ia bawa dan segera memelukku.
“Ini salah ibu nduk...” katanya berbisik di telingaku dengan air mata yang membanjiri pipi keriputnya “ibu belum sempat berbakti padanya” kata beliau penuh penyesalan. Saat itu aku tak dapat berkata apa-apa lagi selain doa untuk abahku. Ibuku melepas pelukannya padaku dan menghampiri jasad abah, ya abahku yang sekarang tak bernyawa lagi.
“Abah... abah abah abah....!!!” kata ibu di sela-sela tangisnya, ia memeluk jasad abah begitu rapat. Aku memandangnya dan tetap tidak beranjak dari tempatku.
Abahku telah pergi untuk selamanya, meninggakanku dan tidak akan lagi menemaniku tidur di dipan usang itu. Nafasku tersenggal-senggal, Abah telah pergi.... untuk selamanya.... dan sekarang beliau menungguku di surga bersama bidadari-bidari amalannya, abah tunggu kami disana.
Tidak terasa lamunanku mebuatku menangis dimalam yang sunyi ini, di antara petikan rantai tasbih yang terhenti. Abahku telah di surga begitu pula dengan Ibuku yang menyusulnya beberapa bulan silam. Kini aku telah menjadi seorang ibu yang menjadi naungan untuk anak-anakku dan sebagai abdi untuk suamiku. Aku akan bersama-sama kesurga dengan keluargaku menemuai abah dan ibuku. Kisah ini kisah nyata, semoga bisa menjadi cerminan untuk semuanya.

Untuk Abah
Langit bergemuruh membawa angin mendekat di atap
Tak terdengar lagi jangkrik-jangkrik yang berderik
Senyuman digulung malam....
Secarik surat tak berupa membuat berjuta noktah dalam lembar putih
Dibawa pergi burung-burung dari surga
Mengitari alam sebagai perjalan terakhirnya
Kini tlah benar tiada.....
Setelah daun kehidupan gugur dialamnya...
Siapa yang dapat merubahnya
Siapa yang dapat menahannya
Siapa yang bisa mengembalikannya
Hanya secarik surat berisi doa
Dibawa burung mengiringi terbang yang tak diduga
Atas kepergian yang tak pernah disangka
Untuk abah ku yang telah tiada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar